Muslim and Christianity insight
(Indonesia edition)

      Home         Back  
   


Terrorism and treachery to Islam

Diambil dari:
http://al-islahonline.com/bca.php?idartikel=149

 

Dengan tanpa bermaksud memprovokasi atau membuka lembaran kelam, akan tetapi berhubung ada beberapa sikap (seolah-olah) "menoleransi" dari beberapa orang Kristiani terhadap kasus ini, maka saya "membukukan" kembali artikel ini di situs ini untuk mengingatkan (seringnya) "gaya" ngeles (baca: out of context dan out of focus) orang-orang Kristen terhadap sikap pemeluknya/sikap Gereja sebenarnya dengan mengalihkan fokus kejadian ke persoalan siapa dalang dibalik peristiwanya, seolah-olah peristiwa-peristiwa semacam itu semata-mata terjadi karena campur tangan pihak ketiga belaka, seperti komentar-komentar yang tertuang dalam http://al-islahonline.com/kom_lkp.php?idkoment=2860&idartikel=149. Saya memberi tanda stabilo untuk poin-poin yang perlu mendapat perhatian.


Ada Apa di Poso ?
tanggal : 21/11/2006

al-islahonline.com : Pada dekade 60-an, kaum Kristen di Indonesia mengambil suatu keputusan yang amat penting, yang merupakan awal kerusuhan politik, dan menjadi konflik Islam-Kristen yang meruncing sampai sekarang ini. Keputusan itu mereka ambil melalui konferensi di Jawa Timur yang intinya adalah : "Pengkristenan Indonesia dalam waktu 50 tahun, dan khusus pulau jawa dalam waktu 30 tahun".

Dengan keputusan itu, kaum Kristen semakin giat, bahkan dapat dikatakan opensif dalam segala lapangan. Kalau pada zaman Nasakom, komunis memaksakan nasakomisasi (menempatkan orang komunis) disetiap lapangan kehidupan, maka di zaman orde baru melalui rezim Suharto sangat terasa adanya kristenisasi dalam segala lapangan kehidupan dalam masyarakat Indonesia.
Dimana - mana mereka mendirikan gereja, tanpa memandang apakah di tempat itu ada orang Kristen atau tidak.

DI Aceh umpamanya, mereka mendirikan gereja padahal tidak seorangpun suku aceh yang beragama Nasrani, maka gereja yang baru saja didirikan itupun dibakar rakyat setempat. Di kota - kota besar bermunculan gereja-gereja dengan angkuhnya, terkadang rumah tinggal dan ruko tiba-tiba sudah berubah menjadi gereja. Bahkan dengan sengaja membakar emosional umat Islam di samping masjid mereka bangun gereja, seperti di Masjid Raya Pulo Asem Rawamangun. Bahkan di asrama mahasiswa Indonesia, yang terletak di jalan Pegangsaan Timur Jakarta, dikala itu tiba-tiba sedah berdiri gereja yang megah di atasnya.

Sebuah sekolah perguruan rakyat yang terletak di belakang Rumah Sakit Kristen St. Carolus harus dibongkar karena RS. Kristen tersebut memerlukan perluasan. Betapapun kerasnya reaksi dari masyarakat luas untuk tetap mempertahankan sekolah tersebut, apalagi karena sekolah itu mempunyai nilai sejarah dalam pergerakan kemerdekaan,
harus diratakan dengan tanah demi kepentingan pelebaran RS.Kristen . Sekali lagi demi perubahan peta politik menuju Kristenisasi yang sudah berjalan mantap di bumi Indonesia, semua jalan harus ditempuh "the end justifies the mean". Menghalalkan segala macam cara.

Dengan keuangan melimpah yang mengalir dari berbagai donatur, mereka mendirikan gereja megah, rumah sakit mewah, mendirikan sekolah-sekolah mulai dari penitipan anak, TK, SD, SMP, SMA dan Universitas dengan fasilitas bangunan yang megah hingga mengalahkan semua bangunan sekolah yang ada termasuk sekolah-sekolah negeri dan rumah sakit pemerintah.

Mereka juga mengadakan gerakan orng tua angkat melalui Organisasi Orang Tua Angkat. Orang Kristen dari Eropa dan Amerika mempunyai anak-anak angkat di Indonesia. Seperti di Belanda, dengan uang 50 gulden per bulan di tahun 1970-an, mereka sudah mempunyai anak angkat di Indonesia. Dan gerakan itu ditujukan untuk membantu sisa-sisa korban dari peristiwa G30 S PKI. Kaum komunis mendapat santunan dari kaum Kristen. Mereka membagi-bagikan sembako secara berkala, bahkan mereka juga mendapatkan tawaran bantuan modal usaha, dengan perjanjian, bahwa mereka harus menjadi Kristen. Dalam keadaan sangat sulit dan terpaksa, para korban G30 S PKI tsb mau tidak mau harus menerima tawaran itu. Tidak cukup dengan membantu mereka,
bahkan mereka diracuni dengan provokasi yang menyesatkan, yaitu menstigmasi umat Islam dengan kata-kata : "Kalian adalah korban pembunuhan dari orang-orang Islam". Dan tidak aneh kalau sekarang anak-anak mereka banyak yang menjadi Kristen Militan.

Dengan peranan dan perencanaan yang sangat matang dari CSIS, DGI, MAWI, dan IGGI kaum Kristen di Indonesia telah berhasil menanamkan kekuasaan di segala sektor kehidupan, baik bidang pemerintahan untuk meraih kekuasaan, orang-orang Kristen juga menduduki posisi-posisi yang penting di masa rezim Orde Baru.


Era Reformasi

Keberhasilan kaum Kristen di zaman Orde Baru membuat kelompok minoritas ini menjadi pongah, mereka lebih loyal pada Vatikan, Eropa Barat dan Amerika. Kita sadar, lepasnya Timor Timur dari Indonesia tidak menafikan adanya peran dari aktor-aktor Kristen. Dengan tuduhan pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran HAM berat. Pemerintah terpojok oleh propaganda Kristen yang telah menguasai gerakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Nampaknya, untuk Indonesia Timur mereka terus berusaha melakukan apa yang pernah mereka lakukan di Timor Timur. Kasus Poso, Ambon, Irian Jaya yang terus menghangat, tidak lebih dari makar busuk yang sedang mereka lakukan, karena mustahil kasus Tibo cs yang kriminal, dan tindakannya yang membunuh ratusan umat Islam di Pesantren Walisongo dianggap pahlawan,
pembelaan yang dilakukan oleh para aktivis gereja dan Vatikan adalah sebagai tindakan arogansi. Termasuk ketika Paus Benedictus XVI menyurati presiden SBY terkait kasus eksekusi Tibo cs. Padahal tindakan Tibo cs jelas-jelas kriminal, sadis dan biadab.


Kronologi Kejahatan Tibo cs

Bagi pembunuh, seharusnya dikenai hukum qishas. Namun, jika dengan alasan negara atau siapa pun sebagai penegak hukum tidak berhak mengambil nyawa orang lain, sehingga hukuman mati harus dicabut atas Tibo cs. Orang bertanya,:
Siapa yang memberi hak kepada Tibo cs untuk membunuh lebih dari 100 santri pesantren Wali Songo di Poso, lima tahun lalu?

Sekedar mengingatkan, betapa biadab dan sadisnya pasukan merah Kristen pimpinan Fabianus Tibo, kita lihat kronologi tragedi Poso yang direkam Forum Silaturahim dan Perjuangan Umat Islam Poso.

Sabtu, 20 Mei 2000

Seorang pemuda muslim dari desa Kelei, Anton Dunggio berhasil meloloskan diri dari massa merah (Kristen) dan menginformasikan tiga hari lagi akan ada penyerangan besar-besaran oleh pasukan merah dari Tentena. Namun, informasi tersebut dinilai provokasi, dan Anton dituduh provokator kemudian diangkap atas perintah Wakapolres Poso, Jhony Siahaan.

Senin, 22 Mei 2000

Pukul 19.30 Waktu Indonesia Timur, atas inisiatif Kapolres Poso, diadakan pertemuan antar unsur pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat dan agama, untuk membicarakan situasi Poso. Jam 23.30-24.00 Muspika Kota Poso, mengumumkan melalui kendaraan dan berkeliling kota Poso, bahwa tidak akan ada penyerangan dari massa Kristen, dan kepada warga Muslim kota Poso, diminta tenang.

Selasa, 23 Mei 2000

Sejumlah kendaraan berisi pasukan merah Kristen, dengan memakai baju, celana hitam dan ikat kepala merah, hilir mudik sambil berteriak dan mengacungkan senjatanya melewati desa Sintuwulemba. Konvoi pasukan itu sebagian diturunkan di desa Tagulo dan sebagian di desa lain. Dini hari, sekitar jam 03.00 datang pasukan Kelelawar Merah berpakaian ala Ninja, dan Serma Kamarudin Ali tewas ditebas pasukan Kelelawar. Pada waktu yang sama, kakek Muslim Kayamanya dibantai, ketika menuju masjid untuk sholat subuh dan Abdul Syukur lehernya di tebas di Serambi Masjid Moengko.

Massa Putih (Islam) mengejar Pasukan Kelelawar Merah pimpinan Cornelius Tibo alias Fabianus Tibo yang bersembunyi di kompleks Gereja Katholik Moengko. Aparat keamanan yang dibantu beberapa orang warga muslim berhasil menagkap Tibo cs. Negosiasi dilakukan ketika itu antara Tibo cs dengan aparat. Sebagai jubir pasukan Kelelawar Merah, Tibo mengatakan siap menyerahkan diri. begitu juga seluruh anggota pasukannya akan menyerahkan diri kepada pihak berwajib, dengan syarat mereka mendapatkan jaminan keamanan aparat sepenuhnya dari peradilan massa atas dirinya dan kelompoknya.

Usai pertemuan, Tibo beranjak dari tempat itu, konon ia minta ijin keluar untuk memanggil seluruh pasukannya guna menyerhakan diri kepada pihak berwajib, dan apartpun percaya saja. Tanpa meminta kesepakatan kepada kelompok kaum muslimin. Nah momentum itulah yang digunakan Tibo untuk melarikan diri,
mengkhianati janjinya sendiri, lalu menghilang ditengah-tengah semak belukar, tepatnya dibelakang gereja santa Theresia Kelurahan Moengko.

Rabu, 24 Mei 2000

pukul 06.30 terjadi penyerangan Pasukan Merah terhadap warga muslim Sayo, yang mengakibatkan tewasnya Aswin. Pukul 10.000 sebagian pasukan Merah yang kembali dari Togaluke Tentena, dan melepaskan anak peluncur sebanyak empat kali ke arah pesantren Wali Songo, dan melepaskan tembakan senapan angin ke rumah pak sarimah warga Muslim. Pada waktu yang hampir bersamaan di Togalu dan Situwulemba KM. 9 telah terjadi pembantaian dan penyanderaan warga muslim yang dilakukan oleh pasukan merah Kristen.

Pukul 18.30 Pasukan Merah Kristen, melemparkan bom molotov dua kali ke rumah Pak Ahmadi warga Muslim Situwulemba. Sore itu sekitar 1000 oang berpakaian ala ninja merah dengan persenjataan lengkap melakukan pengrusakan san pembakaran rumah-rumah pendudukan di Desa Toyado dan Labuan. Dua orang warga muslim syahid setelah dibakar hidup-hidup oleh pasukan Kristen, dan salah satu korban bernama Rafik Pakaya.

Kamis, 25 Mei 2000

Keluarga Besar Wali Songo memasang rintangan jalan. Setiap kendaraan yang lewat di stop untuk menyampaikan pesan agar mereka jangan mengganggu masyarakat muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo. Terjadilah ketegangan antara Pasukan Merah dengan warga muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo. Akhirnya camat Lage Drs. Minto Ida dan Kapolsek Lage JP.Londa membuat kesepakatan dengan Ustadz Sahudin mewakili Pesantren Wali Songo, yang dihadiri oleh Dominggus mewakili Pasukan Merah, Sudarso Panyipto mewakili Kristen Sintuwulemba dan beberapa tokoh masyarakat Muslim lainnya, dengan
menghasilkan beberapa kesepakatan perjanjian antara lain : 1. Rintangan jalan depan pintu gerbang Pesantren Wali Songo harus dihilangkan. 2. Pasukan Merah tidak akan mengganggu warga Muslim Sintuwulemba dan Pesantren Wali Songo.

Jum'at, 26 Mei 2000

Camat dan Kapolsek Lage melarang warga Muslim di desa Sintuwulwmba dan Pondok Pesantren Wali SOngo mengungsi dengan alasan tidak akan terjadi apa-apa dan mereka memberikan jaminan keamanan. Pasukan merah menyerang desa Sintuwulemba dan membantai seluruh warga Muslim yang ditemui. Lebih dari 70 pengurus dan santri Pondok Pesantren Wali Songo dibantai oleh pasukan Merah di dalam masjid. Pasukan merah menebangi pohon di jalan untuk menghambat bantuan pasukan TNI/POLRI dari Makassar dan warga muslim dari Mangkutana dan Bungku.

Sabtu, 27 Mei 2000

Di Tentena, rumah-rumah warga muslim dibakar. Massa dari desa Sanginora yang dipimpin ileh Guntur S.Tarinje, mendatangi kantor kecamatan Poso Pesisir dan dihadiri oleh pemuka-pemuka masyarakat Islam setempat. Dalam pertemuan tersebut disepakati memorandum of understanding yang memuat ikatan perjanjian sebagai berikut :

Pertama, pihak Kristen tidak akan saling menyerang dengan pihak muslim di seluruh Poso Pesisir. Adapun perseteruan yang terjadi dalam kerusuhan Poso cukup menjadi persoalan di Poso kota, tidak perlu merambat sampai ke Poso Pesisir. Kedua, semua rintangan di jalan raya yang menghambat kelancaran lalu lintas dan mobilitas umum agar disingkirkan serta dibersihkan sebagaimana keadaan dan kondisi sebelumnya. Ketiga, pasukan kelompok merah yang tidak bermusuhan dengan warga muslim Poso Pesisir tidak boleh saling mengganggu.

Warga muslim mematuhi perjanjian tersebut. Pembersihan jalan Raya sudah dilaksanakan, dimulai dari desa Tabalu, Ratolene, Bega, Patirobajo, Mapane, Toini, Tolana, Landangan, Tonipa. Bahkan sampai kelurahan Moengko dan Kayamanya.

Tetapi karena pihak Kristen mengkhianati perjanjian tersebut akibatnya fatal. Pasukan merah leluasa menghajar saudara mereka, umat Islam yang berada di Poso Kota. Camat Lage, Drs, Mito Ida, Kapolsek Lage JP. Londa dan Babinsa Kec. Lage Serka Darmo mendatangi pesantren Wali Songo untuk meminta agar Wali Songo menyerahkan HT (handy talky), senjata-senjata tajam warga muslim Sintuwulemda dan alat-alat las serta meminta agar warga muslim Sintuwulemba dan Wali Songo tidak balas menyerang meskipun kemarin telah dipeluncur dan dilempar bom molotov warga Kristen.

Minggu, 28 Mei 2000

Mobil-mobil truk beriringan dari arah Napu membawa ribuan pasukan Merah ke arah Kec. Poso Pesisir. Sekitar pukul 08.000 Pasukan Merah mulai melakukan penyerangan, pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah warga msulim di desa Tabalu, Ratulene, Mapane, Bega, patiro bajo, Saatu, Pinedapa, Masani, Tokorondo, Tiwa, Kilo dan Kalora. Pukul 10.000 pesantren Wali Songo diserang. Kemudian mereka mengepung desa Sintuwulembda dari segala penjuru. Warga muslim Sintuwulemba yang masih berada di sana berusaha melakukan perlawanan seadanya karena tidak menduga, pasukan Merah akan menyerang seperti itu. Bukankah sebelumnya sudah ada jaminan dari aparat?

Warga muslim Sintuwulemba bersama sebagian kecil warga Wali Songo terpukul mundur kemudian Ustadz Sahudin mengibarkan bendera kain putih di Masjid Al Hijrah Sintuwulemba, setelah dijanjikan oleh Pasukan Merah apabila mereka (warga muslim) menyerah dan melepaskan senjata tajamnya dijamin aman.
Pasukan Merah ingkar janji. Para pengkhianat itu melucuti senjata tajam warga muslim. Setelah itu, Pasukan merah membantai dengan menebas leher warga muslim yang telah terkurung di dalam masjid Al-Hijrah Sintuwulemba dan mencincang-cincangnya baik yang keluar masjid, maupun di tempat-tempat lain dimana saja mereka dapati warga muslim di desa itu. Sebagian pasukan Merah membakar rumah-rumah penduduk warga muslim hingga ludes, kecuali rumah-rumah orang Kristen Sintuwulemba. Korban yang tewas dan yang masih hidup semua diangkut dengan truk entah dibawa kemana.

Menyikapi situasi yang terus kisruh dan meruncing dalam kehidupan antar umat beragama, umat Islam harus tegas dan bijak, bahwa kebiadaban dan pengkhianatan atas janji, agaknya menjadi karakteristik laskar merah Kristen.
Orang-orang kristen terbiasa memaksakan kehendak pada negara dengan melanggar hukum, menodai keadilan, dan melukai nurani mayoritas umat Islam di negeri ini. Tidakkah kita berfikir untuk selalu waspada dan berhati - hati atas segala propaganda dan tipu daya musuh-musuh Allah? Jika kamu menolong agama Allah, pasti Allah juga akan menolong kamu. (Ahmad Salimin Dani/Lentera Da'wah)

Komentar tentang artikel ini dapat dilihat di: http://al-islahonline.com/kom_lkp.php?idkoment=2860&idartikel=149

 

Diambil dari:
http://al-islahonline.com/bca.php?idartikel=125


Vonis Mati Tibo cs Vs Amrozi cs
tanggal : 23/05/2006

al-islahonline.com :
Oleh : Fauzan Al-Anshari *)

Sebuah surat kabar nasional dengan tiras ratusan ribu eksemplar perhari pada beberapa pekan terakhir selalu memberitakan
penolakan vonis mati terhadap Tibo cs. Namun pada hari yang lain surat kabar tersebut memberitakan tuntutan agar Amrozi cs segera dieksekusi. Apa ada sesungguhnya? Sebenarnya mudah saja untuk menebak, tergantung sudut pandang yang digunakan. Di bawah ini saya mencoba membandingkan kedua vonis tersebut dan respon atas keputusan itu.

Tibo cs

Pembantaian terhadap ratusan santri Pesantren Walisongo, di Poso, Sulawesi Tengah sekitar Juni-Juli 2000 oleh gerombolan pasukan 'merah' dan 'laskar kristus' menghentakkan rasa kemanusiaan umat Islam Indonesia, sebagai penduduk mayoritas negeri ini. Pembunuhan santri tersebut menyusul .penyerangan terhadap umat Islam Ambon pada 19 Januari 1999 saat merayakan Idul Fitri.

Tak pernah terlintas dalam benak umat Islam Poso akan mendapat serangan sesadis itu.
Serangan mendadak itu bukan tanpa rencana. Tibo sendiri mengatakan, "Sebelum turun ke Poso kami didoakan di halaman gereja oleh para pendeta,' (Republika, 17/4). Puluhan saksi mata mengatakan, pasukan Tibo membantai para santri dan warga muslim lainnya. Mereka digantung dan dipenggal kepalanya di depan anak dan istri, lalu mayatnya dibuang ke sungai Poso.

Korban Poso pun berjatuhan. Ratusan nyawa muslim tak bersalah menemui ajalnya. Kondisi mayat merekapun sangat mengenaskan, terkoyak - koyak persis seperti mayat-mayat umat Islam yang bergelimpangan di Ambon. Dalam tayangan video rekaman dokumenter Ambon dan Poso dapat dilihat dengan jelas kesamaan cara membunuh korban. kedua peristiwa itu telah membuka 'pintu jihad' bagi umat Islam setempat untuk melakukan perlawanan. Allah SWT pun menurunkan kemenangan bagi umat Islam. Perdamaian pun terbit.

Perjanjian damai Malino I dan II lahir dari kedua rahim kelompok yang berseteru. Walau tidak semua sepakat, namun kedua traktat itu bagai 'napas' untuk kembali melanjutkan kehidupan normal. Di balik perjnajian damai itu ada tuntutan untuk menegakkan hukum bagi siapapun pelaku pembantaian tersebut, seperti Tibo, Dasilva dan Riwu. Aparat penegak hukum memberikan vonis mati untuk ketiganya.

Jelang eksekusi, Tibo cs mengeluarkan 16 nama yang diduga terlibat dalam pembantaian itu. Protes penolakan atas eksekusi itu pun merebak. Utusan khusus Paus datang memberi dukungan moral atas penolakan tersebut. Sejumlah tokoh Kristen dan Katolik bersatu mendemo rencana eksekusi tadi.
Media massa sealiran pun membangun opini, bahwa hukuman mati melanggar HAM dan Tibo cs dinobatkan sebagai 'korban tak berdosa'.

Tibo cs sekeluarga pun sangat takut atas rencana eksekusi itu, sehingga melalui pengacaranya mereka menempuh semua jalur hukum yang ada, walau semuanya mentok. Gencarnya demo - demo yang disponsori para tokoh Kristen-Katolik di Jakarta, akhirnya berhasil menunda eksekusi Tibo cs. Salah satu alasan pemerintah atas penundaan itu adalah untuk mengkroscek keterangan ketiganya terhadap 16 nama tersangka lainnya.
Logis tapi mengusik akal sehat.


Amrozi cs

Bom Bali I (12 Oktober 2002) mengubah peta politik umat Islam di Indonesia. Hubungan yang relatif mesra antara umat Islam dan penguasa berubah menjadi saling curiga. Buntutnya polisi membentuk satuan tugas khusus (task force) untum membekuk pelaku bom Bali dan membongkar jaringannya dengan dukungan penuh dari AS san Australia. Bantuan jutaan dollar pun terus mengalir sampai hari ini.

Hasilnya, sekitar 250 aktivis Muslim ditangkap, disiksa, dan dijebloskan ke dalam penjara. Tiga orang dihukum mati (Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas). Selebihnya ada yang dihukum seumur hidup, 20 tahun penjara, dan mungkin yang paling ringan Nasir Abbas, cuma 5 bulan. Puluhan lainnya dibebaskan karena tidak terbukti bersalah atau sebab lain seperti salah tangkap. Beberapa orang klenger karena disiksa, seperti Ustadz Abu Fida.

Aneh bin ajaib. Vonis mati bagi Amrozi cs justru mereka terima sebagai 'undangan VVIP (very-very important person)' unutk menemui pencipta mereka, untuk dikawinkan dengan 72 bidadari, untuk bisa memberi syafaat kepada 70 anggota keluarganya, untuk menghindari azab kubur dan padang mahsyar, dan untuk mendapatkan mahligai cinta sebagai seorang syuhada. Tidak ada demo penolakan. Tidak ada intervensi dari 'khalifah'. Tidak ada kata takut dan menyesal. Merekapun berkata :"Welcome, selamat datang, wahai kematian!"


Renungan

Penyerangan terhadap Muslim Ambon (19/1/1999) dan Poso (Juni-Juli 2000) oleh laskar Kristus tidak disebut teroris. Sementara ratusan aktivis Muslim telah ditangkap dengan tuduhan teroris pasca bom Bali tersebut. Mengapa terjadi diskriminasi? Padahal jika dilihat besaran korban dan dampak kejahatannya jauh lebih besar kedua penyerangan tadi. Inilah jawabannya : AS dan sekutunya telah mensetting berbagai teror terhadap umat Islam demi membangun hegemoninya atas kaum Muslim Indonesia.

Mereka lupa bahwa dalam Islam ada ajaran jihad untuk membela diri. Dalam jihad hanya ada dua pilihan : menang dan tetap hidup atau mati syahid. Keduanya adalah pilihan terbaik. Dalam konteks inilah sosok seperti Imam Samudera, Amrozi dan Mukhlas tidak takut dengan ancaman vonis mati. Karena memang itulah yang dicari. Konsekuensi hukumnya adalah murtad bagi Muslim yang terlibat dalam eksekusi terhadap ketiganya. Wallahu a'lam. (sabili)

*)Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia

 

Dari uraian artikel ini sudah jelas bagaimana gambaran terhadap umat Islam di Poso dan keadilan yang tidak didapat oleh umat Islam, sehingga dalih-dalih yang sering dipakai oleh umat Kristiani untuk menyangkal peran gereja dan sikap mereka, sebenarnya keluar dari konteks masalahnya. 

Terlepas dari peristiwa yang terjadi, maka tindakan-tindakan "anti-kemanusiaan" yang dianut oleh pemeluk-pemeluk suatu agama tidaklah selalu menunjukkan prinsip-prinsip ajaran agama yang dianutnya. Karena itu tidaklah benar tuduhan salah alamat bahwa ajaran Islam mengajarkan terorisme hanya karena berdasar pada sebagian sikap pemeluk-pemeluknya. Jika hanya berdasar pemikiran seperti itu, apa yang dilakukan oleh segelintir umat Kristiani di Poso juga menggambarkan inti ajaran Kristen dong?


Back to Top