Izin Perang dalam Islam
Oleh: KH. DR. Tarmidzi Taher (Ketua Dewan Direktur Center for Moderate Muslim)
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Baqarah
2:190).
Jihad merupakan bagian
integral wacana Islam sejak masa-masa awal Islam hingga sekarang.
Harus diakui, terdapat kelompok-kelompok muslim yang menggunakan
cara-cara kekerasan atas nama jihad, bahkan beberapa muslim Timur
Tengah seperti muslim Pakistan mengartikan jihad adalah membunuh .
Mereka mengabaikan jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu
diri-sendiri).
Para ekstrimis dan teroris
religius, meminjam istilahnya John L. Esposito, telah memperkuat
kepercayaan ini tatkala mereka dengan bebasnya mendeklarasikan
“jihad” untuk mensahkan serangan-serangan terhadap
pembunuhan semua orang yang tidak sependapat dengan mereka. Dan
gerakan jihad semacam ini tidak mendapat dukungan luas dari umat
keseluruhan.
Munculnya Kelompok Radikal
Gerakan keagamaan yang
bersifat radikal merupakan fenomena penting yang turut mewarnai
citra islam kontemporer. Masyarakat dunia belum bisa melupakan
peristiwa revolusi Iran pada 1979 yang berhasil menampilkan
kalangan mullah ke atas panggung kekuasaan. Dampak dari peristiwa
itu sangat mendalam, dan kebanyakan pengamat tidak pernah
meramalkan sebelumnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dunia,
khususnya Barat, dibuat bingung karena rezim mullah begitu
bersemangat untuk melawan dan menyingkirkan mereka.
Keberhasilan revolusi Islam Iran
semakin memperkuat gerakan di negara-negara Iran dalam mengeskpor
revolusi. Banyak peneliti menyatakan tidak terlalu sulit menemukan
bukti keterlibatan negara ini dalam aksi-aksi radikal di
negara-negara lain. Secara diam-diam negara ini turut mensponsori
gerakan keagamaan di Libanon dan Palestina.
Mereka juga tidak sungkan-sungkan
mendukung gerakan serupa di Eropa, dengan misalnya, menjatuhkan
hukuman mati kepada Salman Rusdi walaupun ia bukan warga negara
Iran. Sikap mereka yang agresif ini kemudian memunculkan banyak
kekhawatiran dan curiga dari negara-negara lain, termasuk negara
yang mayoritasnya muslim.
Iran hanyalah satu kasus dari
gerakan radikalisme keagamaan dalam Islam. Di belahan dunia lain,
Aljazair, juga menyuguhkan peristiwa yang tidak kalah
memprihatikan. Situasi itu bermula dari pemilu demokrasi
pertama yang diselenggarakan negeri itu pada 1986, dimana
kemenangan partai Islam (FIS- Front Pembela Islam) dianulir
oleh kelompok nasionalis yang ditakut-takuti dan didukung oleh
Barat.
Secara apriori, pihak nasionalis dan
Barat melihat kemenangan tersebut sebagai ancaman terhadap
demokrasi dan pluralisme. Sedang FIS merasa bahwa tindakan sepihak
kalangan nasionalis jelas-jelas merugikan mereka. Oleh karena
tidak tercapai kompromi, keduanya tidak dapat menghindarkan
penggunaan kekerasan hingga saat ini.
Gerakan keagamaan yang menyertai
kekerasan itu hanya dilakukan oleh organisasi besar dan mapan.
Kejadian-kejadian sporadis berupa pemboman pesawat sipil, barak
tentara atau pasar, juga penculikan, kelompok-kelompok yang biasa
disebut Barat sebagai “teroris”.
Menurut data masyarakat Barat,
sebagian mereka didukung oleh Libia dan Iran, dan sebagian lagi
didukung oleh organisasi kecil yang militan. Diantara yang
mendapat liputan luas adalah gerakan Hamas dan Jihad. Keduanya
secara terang-terangan menyatakan dirinya bertanggung jawab atas
beberapa kejadian-kejadian berdarah, termasuk pembunuhan terhadap
presiden Mesir, Anwar Sadat.
Maraknya aksi-aksi kekerasan
dalam masyarakat muslim secara langsung memperteguh citra lama
tentang Islam bahwa pada dasarnya agama ini bersifat radikal dan
intoleran. Kesan ini sulit dibantah, karena gelombang aksi
kekerasan atas nama Islam menjadi bagian penting dari rentetan
kekisruhan politik sejak pertengahan abad ini.
Pada abad-abad sebelumnya
patro-radikalisme Islam telah muncul sebagaimana yang dipimpin
oleh Usman dan Fodio Afrika, Wahhabiyah di semenanjung Arab, dan
jauh sebelumnya oleh kaum Khawarij. Meskipun demikian, sulit pula
membenarkan pandangan yang umumnya tersebar dalam media massa dan
masyarakat Barat bahwa radikalisme adalah ciri inheren Islam.
Antara de jure dan de facto
Karen Armstrong , mantan biarawati
dan penulis buku keagamaan yang cukup produktif, menyatakan bahwa
Islam tidak selayaknya disandingkan dengan aksi-aksi kekerasan,
apalagi terorisme. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
muslim, menurutnya, telah melanggar prinsip-prinsip esensial
Islam.
Wanita asal Inggris ini, setahun
lalu, menulis di harian terkemuka di Inggris The Guardian, “Kita
membutuhkan satu kata yang lebih pas dari sekedar kata ‘teroris
Islam’. Al-Quran melarang peperangan yang bersifat
menyerang. Perang dibolehkan hanya untuk kepentingan
mempertahankan diri. Nilai-nilai Islam yang benar mengajarkan
perdamaian, rekonsiliasi dan pemberian maaf.”
Armstrong juga menyatakan bahwa
orang yang melakukan tindakan yang mengerikan, tidak memiliki
agama, apakah mereka menyebutnya sebagai Muslim, Kristen atau
Yahudi yang melakukan kejahatan atas nama agama mereka. Ia
menambahkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian,
cinta, dan toleransi serta tidak pernah pemaksaan agama.
Pernyataan Armstrong diatas tidaklah
mengada-ada. Islam tidak membenarkan pembunuhan terhadap jiwa tak
berdosa. Dalam al-Quran dikatakan bahwa membunuh manusia yang
tidak berdosa disamakan dengan membunuh manusia sejagat (QS.
Al-Maidah 5:32).
Dalam Islam, peperangan hanya
dizinkan dalam kondisi berikut; pertama, sebagai langkah
defensif untuk melindungi kaum Muslim dari serangan musuh dan
menjaga sistem kehidupan di dunia ini. ”Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (QS.
Al-Baqarah 2:190)
Kedua, diusir dari rumah dan
tanah air. “Dan bunuhlah mereka dimana kamu temui mereka,
dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu,”
(QS. Al-Baqarah 2:191). Ketiga, ketika umat Islam disiksa
dan dianiaya di daerah-daerah musuh karena memeluk agama Islam.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka dianiaya,”(QS.
Al-Hajj 22:39).
Keempat, jika kaum musyrik
mengingkari perjanjian (perang atau damai) yang telah mereka buat
serta mengejek dan menghina agama Allah. “Dan jika mereka
melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu,
maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu, ” (QS.
at-Taubah 9:12).
Dari sini kita bisa melihat bahwa
aksi kekerasan yang dilakukan segelintir umat Islam yang telah
menelan korban jiwa tak berdosa adalah perbuatan yang secara
esensial bertentangan dengan ajaran islam;. Hal ini juga
menyadarkan kita bahwa ada gap antara nilai-nilai normatif Islam
(de jure) dengan perbuatan (de facto) umat Islam.
Adanya gap inilah yang tidak dilihat
masyarakat Barat sehingga mereka menilai islam dari perbuatan
segelintir umatnya. Padahal jika masyarakat Barat menilai ajaran
Islam yang tertera dalam al-Quran dan hadis. Islam adalah agama
cinta perdamaian dan tidak menganjurkan mengizinkan penggunaan
kekerasan kecuali dalam empat kondisi sebagai dijelaskan diatas.
Wallahu a’alam bis shawab.
Artikel terkait:
Tanggapan bahwa Islam Agama Kekerasan
Sikap muslim: ajaran Islam terhadap non muslim