Mengapa Ulama Berbeda
Pendapat?
Oleh: Nadirsyah Hosen
Saya menangkap kecenderungan sebagian rekan dalam
mensikapi perbedaan pendapat ulama, antara lain,
sebagai berikut:
1. Bingung dan kecewa dengan para ulama. Bukankah
Islam itu satu, Allah itu ahad, Nabi Muhammad itu
Nabi terakhir, dan Qur'an pun satu, lantas mengapa
kok terjadi banyak perbedaan pendapat. Andaikan ulama
mau kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis niscaya tidak
akan ada lagi perbedaan pendapat itu.
2. Bersikap mencurigai perbedaan itu. Jangan-jangan
ulama berbeda pendapat karena ada "pesanan"
atau malah "tekanan".
Dalam merespon sikap-sikap seperti itu, saya akan
sedikit menguraikan sebab-sebab perbedaan pendapat
para ulama. Kita akan terkejut mendapati bahwa
ternyata perbedaan pendapat itu justru karena
berpegang pada Al-Qur'an dan Hadis; kita akan takjub
mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena
Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya
perbedaan itu. Kita akan temui bahwa ternyata
perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah
suatu hal yang mustahil dihapus.
Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf"
para ulama, saya kutipkan sebagiannya:
1. Perbedaan dalam memahami al-Qur'an. Al-Qur'an
adalah pegangan pertama semua Imam Mazhab dan ulama.
Hanya saja mereka seringkali berbeda dalam
memahaminya, disebabkan:
a. ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih
dari satu arti (musytarak). Contoh lafaz
"quru" dalam QS 2: 228. Sebagian
mengartikan dengan "suci"; dan sebagian
lagi mengartikan dengan "haid". Akibat
perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian
sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar) memandang bahwa
manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg
ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit,
sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan
datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai
haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para
sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini. Ada
ulama yang berpendapat bahwa tampaknya Allah sengaja
memilih kata "quru'" sehingga kita bisa
menggunakan akal kita untuk memahaminya. Soalnya,
kalau Allah mau menghilangkan perbedaan pendapat
tentu saja Allah dapat memilih kata yang pasti saja,
apakah suci atau haid. Ternyata Allah memilih kata
"quru" yang mngandung dua arti secara
bahasa Arab.
b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya
perbedaan pendapat Huruf "fa",
"waw", "aw", "illa",
"hatta" dan lainnya mengandung banyak
fungsi tergantung konteksnya. Sebagai contoh, huruf
"FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua
fungsi. Sebagian memandang huruf "FA" itu
berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam
tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf
"FA" dalam ayat di atas berfungsi "li
tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan).
Walhasil kelompok pertama berpendapat bahwa suami
setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak campur
dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum
empat bulan, kalau sudah lewat empat bulan maka jatuh
talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa tuntutan
supaya campur dengan isteri (untuk menghindari
jatuhnya talaq) itu setelah lewat empat bulan.
c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas,
mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad, dan nasikh-mansukh.
Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum
('am) sehingga membutuhkan ayat atau hadis untuk
mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak ditemui
qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya,
bahkan ditemui (misalnya setelah melacak asbabun
nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi ternyata
yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi
al-khushush). Boleh jadi sebaliknya, lafaznya umum
tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas yuradu
bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah
ayat 103 terdapat kata "amwal" (harta) akan
tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat
(makna umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa
jenis harta saja). Contoh yang kedua, dalam QS
al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan
"ah" pada kedua orangtua. Kekhususan untuk
mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa
perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk
ke dalam larangan ini (misalnya memukul, dan
sebagainya).
Nah, persoalannya, dalam kasus lain para ulama
berbeda memandang satu ayat sbb:
1. lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau
2. lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
3. lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
4. lafaz khusus tetapi maksudnya umum.
Begitu juga perbedaan soal mujmal-mubayyan,
mutlak-muqayyad, nasikh-mansukh, para ulama memiliki
kaidah yang mereka ambil dalam rangka untuk
memahaminya (saya khawatir pembahasan ini malah
menjadi sangat tekhnis, karena itu untuk jelasnya
silahkan merujuk ke buku-buku ushul al-fiqh).
d. perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan
larangan. Ketika ada suatu lafaz berbentuk
"amr" (perintah) para ulama mengambil tiga
kemungkinan:
1. al-aslu fil amri lil wujub (dasar
"perintah" itu adalah wajib untuk
dilakukan)
2. al-aslu fil amri li an-nadab (dasar
"perintah" itu adalah sunnah untuk
dilakukan)
3. al-aslu fil amri lil ibahah (dasar
"perintah" itu adalah mubah untuk
dilakukan) Contohnya lafaz "kulluu
wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan
bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah.
Lafaz "fankihuu maa thaba lakum minn nisa'"
(nikahilah wanita-wanita yg kamu sukai) juga
menggunakan bentuk perintah. Nah, para ulama ada yg
memandang bahwa itu adalah wajib (mazhab Zhahiri),
dan ada yg memandang sunnah (jumhur ulama).
**
Ini lanjutan dari email yang kemarin. Semoga
bermanfaat dan dapat memperjelas bahwa perbedaan
pendapat dikalangan ulama itu bukan karena mereka
memang suka berbantah-bantahan seperti ahlul kitab,
tetapi karena teks nash sendiri memang membuka
peluang timbulnya perbedaan pendapat.
Lanjutan sebab-sebab ulama berbeda pendapat:
2. Berbeda dalam memahami dan memandang kedudukan
suatu hadis.
a. Kedudukan hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu
merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya.
Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan
oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong.
Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami
"orang banyak" itu. Sebagian berpendapat
jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang,
sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain
mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan
sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh
orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul
al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya
kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam
menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan
mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang
mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak
mutawtir oleh ulama yang lain.
Begitu pula halnya dalam memandang kedudukan hadis
shahih. Salah satu syarat suatu hadis itu dinyatakan
shahih adalah bila ia diriwayatkan oleh perawi yang
adil. Hanya saja, lagi-lagi ulama berbeda dalam
mendefenisikan adil itu.
Nur al-Din 'Itr menyaratkan tujuh hal, Al-Hakim
menyaratkan tiga hal. Yang menarik, al-Hakim
memasukkan unsur : tidak berbuat bid'ah sebagai
syarat adilnya perawi, namun Ibn al-shalah, Nur
al-Din 'Itr, Al-Syawkani tidak mencantumkan syarat
ini. Hampir semua ulama, kecuali al-Hakim, memasukkan
unsur "memelihara muru'ah (kehormatan
diri)" sebagai unsur keadilan seorang perawi.
Artinya, walaupun para ulama sepakat bahwa salah satu
syarat suatu hadis dinyatakan shahih adalah bila
hadis itu diriwayatkan oleh perawi yang adil, namun
mereka berbeda dalam meletakkan syarat-syarat adil
itu. Boleh jadi, satu hadis dinyatakan shahih karena
perawinya dianggap adil oleh satu ulama (sesuai dg
syarat adil yang dia susun), tetapi tidak dipandang
adil oleh ulama yang lain (karena tidak memenuhi
syarat adil yg dia yakini).
Persoalan lain adalah, bagaimana melakukan tarjih
(memilih mana hadis yang paling kuat) diantara dua
hadis yang saling bertentangan. Boleh jadi, sebagian
ulama mengatakan hadis yang satu telah menghapus
(nasakh) hadis yang satu lagi. Namun, sebagian ulama
berpendapat bahwa boleh jadi hadis yang satu bersifat
umum, sedangkan hadis yang lain bersifat
mengecualikan keumuman itu.
Bagaimana bila teks hadis terlihat seakan-akan
bertentangan dengan teks Qur'an. Sebagian ulama
langsung berpegang pada teks Qur'an dan meninggalkan
teks hadis (ini yang dilakukan mazhab Zhahiri ketika
tidak mengharamkan pria memakai cincin dari emas),
akan tetapi sebagian lagi mengatakan bahwa hadis
merupakan penjelas maksud ayat, sehingga tidak perlu
meninggalkan salah satunya, tetapi menggabungkan
maknanya (ini yang dilakukan jumhur ulama ketika
mengharamkan pria memakai cincin dari emas).
b. makna suatu hadis
Hadis Nabi mengatakan, "La nikaha illa
biwaliyyin" (tidak nikah melainkan dengan wali).
Namun mazhab Hanafi memandang bahwa huruf
"la" dalam hadis diatas itu bukan berarti
tidak sah nikahnya namun tidak sempurna nikahnya.
Mereka berpandangan bahwa sesuatu perkara yang
ditiadakan oleh syara' dengan perantaraan "la
nafiyah", haruslah dipandang bahwa yang
ditiadakannya itu adalah sempurnanya; bukan sahnya.
Sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat adanya huruf
"la nafiyah" itu menunjukkan tidak sahnya
nikah tanpa wali.
Contoh lain, apakah persusuan diwaktu dewasa juga
menyebabkan status mahram? Sebagian ulama mengatakan
iya, karena berpegang pada hadis Salim yang
dibolehkan Rasul menyusu ke wanita yang sudah dewasa
(padahal si Salim ini sudah berjenggot!) sehingga
terjadilah status mahram antara keduanya. Namun,
sebagian ulama memandang bahwa hadis ini hanya khusus
berlaku untuk Salim saja (sebagai rukhshah) bukan
pada setiap orang dewasa. Apalagi ternyata ditemukan
hadis lain dari Aisyah yang menyatakan bahwa
persusuan yg menyebabkan kemahraman itu adalah disaat
usia kecil (karena bersifat mengenyangkan). Hanya
saja, sebagian ulama memandang cacat hadis Aisyah ini
karena ternyata Aisyah sendiri tidak mengamalkan
hadis yang dia riwayatkan sendiri. Aisyah justru
berpegang pada hadis Salim.
Hal terakhir ini menimbulkan masalah lagi: jika suatu
perawi meriwayatkan suatu hadis, namun ia sendiri
tidak mengamalkan apa yang diriwayatkannya, apakah
hadis itu menjadi tidak shahih ataukah hanya
perawinya sendiri yang harus disalahkan. Sebagian
ulama memandang bahwa hadis itu langsung cacat,
sedangkan sebagian lagi memandang bahwa hadisnya
tetap shahih hanya perawinya saja yang bersalah
karena tidak mengamalkan hadis yang dia riwayatkan
sendiri.
**
Ini lanjutan dari dua mail sebelumnya. Sekedar
mengingatkan, pada dua email sebelumnya saya sudah
menunjukkan bahwa semua ulama berpegang teguh pada
Al-Qur'an dan hadis, namun Al-Qur'an dan Hadis memang
"membuka peluang" adanya perbedaan
pemahaman dan perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Pada mail kali ini saya akan menyampaikan sebab
ketiga para ulama berbeda pendapat, yaitu perbedaan
dalam metode berijtihad (manhaj al-ijtihad atau
turuqul istimbath).
3. Perbedaan dalam metode ijtihad
A. Sejarah singkat
Sejak masa sahabat sudah ada dua "mazhab"
di kalangan mereka. Pertama, mereka yang lebih
menekankan pada teks nash secara ketat. Diantara
mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan Bilal. Kedua,
mereka yang menaruh unsur rasio dan pemahaman secara
luas dalam memahami suatu nash. Kelompok kedua ini
diantaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Mas'ud.
Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kelompok ini
menyebar dan memiliki pengaruh masing-masing.
Kelompok pertama berkumpul di sekitar daerah Hijaz,
sedangkan kelompok kedua berkumpul di daerah Kufah.
Sejarah kemudian menceritakan kepada kita bahwa Imam
Malik bin Anas tinggal di Madinah (termasuk daerah
Hijaz) dan Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah.
Imam Malik berada di lingkungan di mana masih banyak
terdapat sahabat Nabi. Sedangkan Imam Abu Hanifah,
sebaliknya, tinggal di lokasi di mana sedikit sekali
bisa dijumpai sahabat Nabi. Fakta geografis ini
menimbulkan perbedaan bagi kedua Imam dalam merespon
suatu kasus.
Imam Malik bukan saja lebih banyak menggunakan hadis
Nabi (yang dia terima melalui sahabat Nabi di
Madinah) dibanding rasio, tetapi juga menaruh amal
penduduk Madinah sebagai salah satu sumber hukumnya.
Imam Abu Hanifah sangat membuka peluang penggunaan
rasio dan sangat selektif (artinya, dia membuat
syarat yg amat ketat) dalam menerima riwayat hadis
(lebih-lebih sudah mulai berkembang hadis palsu di
daerahnya). Sebagai jalan keluar dari sedikitnya
hadis yang ia terima, maka Imam Abu Hanifah
menggunakan Qiyas dan istihsan secara luas.
Imam Malik memiliki murid bernama Imam Syafi'i. Yang
disebut belakangan ini juga nanti memiliki murid
bernama Imam Ahmad bin Hanbal. Ketiganya dapatlah
disebut sebagai pemuka "ahlul hadis" di
Hijaz. Sedangkan Imam Abu Hanifah memiliki murid
bernama Abu Yusuf dan Muhammad (nanti Imam Syafi'i
berguru juga pada muridnya Muhammad, namun Imam
Syafi'i lebih cenderung pada kelompok Hijaz).
Kelompok Kufah kemudian dikenal dengan sebutan
"ahlul ra'yi".
Harus saya tambahkan bahwa mazhab dalam fiqh tidak
hanya terbatas pada empat Imam besar itu saja. Tetapi
banyak sekali mazhab-mazhab itu (konon sampai
berjumlah 500). Hanya saja sejarah membuktikan bahwa
hanya empat mazhab itu yang bisa bertahan dan
memiliki pengaruh cukup luas di dunia Islam, ditambah
sedikit pengikut mazhab Zhahiri dan mazhab Ja'fari.
B. Metode Ijtihad
B.1. Imam Abu Hanifah
a. Berpegang pada dalalatul Qur'an
a.1. Menolak mafhum mukhalafah
a.2. Lafz umum itu statusnya Qat'i selama belum
ditakshiskan
a.3. Qiraat Syazzah (bacaan Qur'an yang tidak
mutawatir) dapat dijadikan
dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
b.1. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur
(menolak hadis ahad
kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh))
b.2. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi
juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa
sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
d.1. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. berpegang pada istihsan
B.2. Imam Malik bin Anas
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
a.1. zhahir Nash
a.2. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau
mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis
ahad)
d. Qaulus shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashalih al-Mursalah
B.3 Imam Syafi'i
a. Qur'an dan Sunnah
(artinya, beliau menaruh kedudukan Qur'an dan Sunnah
secara sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan
wahyu ghairu matluw). Inilah salah satu alasan yang
membuat Syafi'i digelari "Nashirus Sunnah".
Konsekuensinya, menurut Syafi'i, hukum dalam teks
hadis boleh jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur'an
dalam kasus tertentu)
b. Ijma'
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi'i lebih mendahulukan
ijma' daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i
mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan
dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
B.4. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur'an dan hadis. Artinya,
beliau mengikuti Imam Syafi'i yang tidak menaruh
Hadis dibawah al-Qur'an)
a.1. menolak ijma' yang berlawanan dengan hadis Ahad
(kebalikan dari Imam Syafi'i)
a.2. menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad
(kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma'
d. Qiyas
Kalau kita susun empat Imam mazhab itu menurut
banyaknya menggunakan rasio maka urutannya adalah:
1. Imam Abu Hanifah
2. Imam Syafi'i
3. Imam Malik
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Kalau disusun menurut banyaknya menggunakan riwayat:
1. Imam Ahmad bin Hanbal
2. Imam Malik bin Anas
3. Imam Syafi'i
4. Imam Abu Hanifah
(Bagi yang ingin mendalami metode ijtihad para ulama
saya merekomendasikan Muhammad Salam Madkur,
"Manahij al-Ijtihad fi al-Islam", Kuwait,
al-matba'ah al-'Asriyah al-Kuwait, Jami'ah al-Kuwait,
1984)
Demikianlah sebab-sebab para ulama berbeda pendapat.
Kalau saya boleh menyimpulkan maka ada dua sebab
utama:
1. Sebab internal, yaitu berbeda dalam memahami
al-Qur'an dan Hadis serta berbeda dalam menyusun
metode ijtihad mereka
2. Sebab eksternal, yaitu perbedaan sosio-kultural
dan geografis
Persoalannya sekarang, bagaimana kita mensikapi
perbedaan pendapat di antara ulama? Kalau kita sudah
tahu bahwa keragaman pendapat ulama itu juga merujuk
pada al-Qur'an dan Hadis, maka silahkan anda pilih
pendapat yang manapun. Yang lebih penting lagi,
janganlah cepat berburuk sangka dengan keragaman
pendapat di kalangan ulama.
Jangan sembarangan menuduh mereka sebagai ulama
pesanan ataupun ulama yang ditekan pemerintah. Juga
jangan cepat-cepat menilai salah fatwa ulama hanya
karena fatwa tersebut berbeda dengan selera ataupun
pendapat kita.
Mengapa kita harus mengukur dalamnya sungai dengan
sejengkal kayu? Sayang, kita suka sekali mengukur
kedalaman ilmu seorang ulama hanya dengan sejengkal
ilmu yg kita punya.
Di sisi lain, ulama pun tetap manusia biasa yang
tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Rasulullah
sendiri mengakui bahwa akan ada orang yang salah
dalam berijtihad, namun Rasulullah mengatakan tetap
saja Allah akan memberi satu pahala bagi yang salah
dalam berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar
dalam ijtihad.
Masalahnya, Apakah kita punya hak untuk menilai
salah-benarnya ijtihad ulama itu? Bukankah hanya
Allah Hakim yang paling adil?
Al-Haq min Allah!